KISAH BAL'AM,ULAMA YANG SILAU DUNIA.

Oleh : Abu Abdillah Fatih Falestin (Al-mustaqbal.net)
Ilustrasi

Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji hanya kepada Allah Ta’ala yang menampakan kepada manusia orang-orang yang berjubah, tapi sejatinya adalah dukun. Segala puji hanya kepada-Nya yang menampakkan kepada manusia orang yang mengaku berdakwah, padahal sejatinya ia seorang pedagang yang menjual akhiratnya demi harta benda dunia yang rendah.
Aku memuji-Nya yang telah mengisahkan Kisah Nabi Nuh yang berkata: “Dan aku tidak meminta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku hanyalah dari Rabb seluruh alam.” (QS. Asy-Syura, 26: 109). Dan Dia berfirman kepada Nabi Muhammad; “Atau engkau (Muhammad) meminta upah kepada mereka? Sedangkan imbalan dari Rabbmu lebih baik, karena Dia pemberi rezki yang terbaik. Dan sungguh engkau pasti telah menyeru mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Mu’minun, 23: 72-73). Maka segala puji dan keagungan hanya milik-Nya.
Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad tercinta, keluarganya yang mulia, dan para sahabatnya. Serta kaum muslimin semuanya.
Ada sebuah perumpamaan dari Allah yang membuat kita tercengang. Betapa hinanya orang-orang alim atau berilmu yang tergelincir dengan pengetahuann hingga membuatnya dirinya menjadi rendah. Mereka adalah orang-orang yang menggunakan ilmunya untuk mendapatkan harta dunia belaka, serta untuk mendapatkan kedudukan di mata makhluk. Allah Ta’ala berfirman:....lagi

{ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ } [الأعراف: 175 – 177]
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat lalim.” (QS. Al-A’raf, 7: 175-177).
Ayat ini mengisahkan tentang Bal’am bin Ba’ura, seorang dari Bani Israil di zaman dahulu yang dikaruniai ilmu, tapi hatinya cenderung kepada harta dunia. Maka ia diperumpamakan dengan anjing.
Dalam Nawad Al-Ushul, At-Tarmidzi berkata, “Perumpamaan Bal’am seperti seekor anjing, tidak seperti hewan buas lainnya, karena anjing tidak memiliki hati (yakni hatinya mati), dan penjuluran lidahnya itu disebabkan oleh hatinya yang mati. Berbeda dengan hewan buas lainnya, mereka tidak mati hatinya, karenanya ia juga tidak mengulurkan lidahnya.”[1]
Imam Al-Qurthubi mengatakan, ulama lain mengatakan, perumpamaan dalam ayat ini adalah perumpamaan yang paling buruk yang disandangkan kepada manusia, karena ayat ini mengumpamakan seorang dengan anjing. Orang tersebut tidak mampu untuk dirubah, seperti halnya anjing yang tidak dapat dirubah kebiasaan menjulurkan lidahnya.[2]
Selain itu, ada yang mengatakan, tabiat yang dimiliki oleh hewan anjing biasanya adalah, mereka akan patuh dan tunduk kepada seorang yang tidak takut kepadanya, dan ia juga akan terdiam seribu bahasa apabila orang yang tidak takut kepadanya itu telah menjinakkannya. Lalu hewan yang seperti ini dijadikan perumpamaan oleh Allah bagi orang yang menerima uang suap untuk merubah suatu hukum agama yang jelas-jelas telah tertulis di dalam kitab suci. Oleh karena itu ayat ini sangat penting untuk ditadaburi oleh setiap individu agar tidak terperdaya dengan perbuatannya atau dengan ilmu yang dimilikinya, karena ia tidak dapat mengetahui bagaimana kondisinya nanti di akhir hidupnya.[3]
Kami akan menyampaikan apa yang ditulis oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah, dalam tafsirnya terhadap ayat ini secara panjang sebagai berikut:
Imam Ibnu Katsir berkata, adapun yang mahsyur mengenai sebab turunnya ayat ini, bahwa ia adalah seorang dari Bani Israil dahulu, sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud ra, dan ulama-ulama salaf lainnya. Ali bin Abu Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas ra, ia adalah seorang yang berasal dari suatu kota yang dihuni oleh kaum yang gagah perkasa dan kasar-kasar pembawaannya. Ia bernama Bal’am dan ia mengetahui nama Allah yang Mahaagung (al-Ismul Akbar).
Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Musa singgah bersama orang-orang yang menyertainya di kota itu, maka kabilah-kabilah dan kaum di kota itu datang kepada Bal’am seraya mengatakan, “Musa adalah orang yang sangat kuat, dan ia bersama pasukan yang sangat banyak. Jika ia mengalahkan kami, maka ia akan membinasakan kami. Oleh karena itu, berdo’alah kepada Allah agar mengusir Musa berikut orang-orang yang menyertainya dari kami.”
Bal’am mengatakan, “Jika aku berdoa kepada Allah supaya menolak Musa berikut orang-orang yang menyertainya, niscaya lenyaplah dunia dan akhiratku.” Namun, mereka tidak henti-hentinya memohon, hingga Bal’am mendoakan keburukan atas Musa dan kaumnya. Akhirnya Allah menanggalkan kelebihan yang ada pada dirinya. Itulah makna firman Allah; “Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda).[4]
Firman-Nya: Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah.” Allah mengatakan, “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu.” Yakni, niscaya kami jauhkan dia dari noda dan kotoran duniawi, dengan ayat-ayat yang telah kami berikan kepadanya.[5]
“Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah.” Yakni cenderung kepada perhiasan dan keindahan kehidupan dunia. Ia hanyut dalam kelezatan dan kenikmatan dunia yang memperdayainya, sebagaimana telah memperdayai kalangan orang-orang yang tidak memiliki akal dan pengetahuan.[6]
Muhammad bin Ishaq bin Yasar menuturkan dari Salim bin An-Nadhr, ia bercerita bahwa Musa as singgah di tanah Bani Kan’an termasuk bagian dari tanah Syam, di mana Bal’am berada. Kaum Bal’am pun mendatangi Bal’am seraya mengatakan, “Wahai Bal’am, Musa bin Imran telah hadir di tengah Bani Israil, dan kini telah datang untuk mengusir kami. Sesungguhnya kami adalah kaummu, dan kami tidak memiliki tempat tinggal, sementara engkau adalah orang yang terkabul doanya. Keluarlah dan berdoalah kepada Allah agar menimpakan keburukan kepada mereka.”
Bal’am menjawab, “Celakah kalian! Nabi Allah disertai oleh para malaikat dan orang-orang beriman. bagaimana mungkin aku pergi untuk mendoakan keburukan atas mereka, sedangkan kelebihan yang aku miliki ini dari Allah?”
Mereka mengatakan, “Kami tidak memiliki tempat tinggal.” Mereka tidak henti-hentinya membujuk dan merendahkan diri di hadapannya untuk memperdayainya sehingga ia terperdaya.
Kemudian ia mengendarai keledainya menuju ke bukit yang dari puncaknya ia dapat melihat pasukan Bani Israil, yaitu bukit Husban. Ketika keledai itu berjalan beberapa langkah, keledai itu menderum. Ia pun turun dan memukulnya. Hingga ketika ia memukulnya dengan keras, barulah keledai itu berdiri, lalu ia menaikinya. Belum berjalan jauh hingga keledai itu menderum kembali, lalu ia memperlakukan keledai tersebut seperti tadi. Belum berjalan jauh keledainya itu kembali menderum, lalu ia memukulnya. Ketika ia menyiksa keledainya seperti itu, maka Allah mengizinkan kepada keledai tersebut untuk berbicara kepadanya sebagai bantahan kepadanya dengan mengatakan, “Celaka engkau, wahai Bal’am! Kemana engkau hendak pergi? Tidakkah engkau melihat para malaikat menolakku dari hadapanku ini? apakah engkau pergi kepada Nabi Allah dan kaum mukminin untuk mendoakan keburukan kepada mereka.” Namun, ia tidak bergeming, ia terus menerus memukulnya. Allah membiarkan keledai itu berjalan ketika Bal’am terus memaksanya agar berjalan. Hingga sampailah di atas bukit Husban, di hadapan pasukan Musa dan Bani Israil, ia mulai mendoakan atas mereka. tidaklah ia mendoakan keburukan kepada mereka, melainkan Allah memalingkan lisannya sehingga mendoakan keburukan kepada kaumnya. Tidaklah ia mendoakan kebaikan kepada kaumnya melainkan Allah memalingkan lisannya sehingga mendoakan kebaikan kepada Bani Israil. Maka kaumnya mengatakan kepadanya, “Apakah engkau tahu, wahai Bal’am, apa yang engkau lakukan? Engkau hanyalah mendoakan kebaikan kepada mereka dan mendoakan keburukan kepada kami?”
Ia menjawab, “Inilah yang tidak aku kuasai. Ini sesuatu yang telah Allah tentukan.”
Kemudian lidahnya menjulur sampai ke dadanya, lalu ia mengatakan, “Sekarang telah hilang dariku dunia dan akhirat. Tidak terisisa lagi selain makar dan tipu daya, maka aku akan membuat makar dan tipu daya untuk kalian. Hiasailah para wanita dan berikan barang-barang dagangan kepada mereka, kemudian suruhlah mereka pergi ke pasukan untuk menjual barang-barang tersebut. perintahkan kepada setiap wanita tersebut untuk tidak menghalangi dirinya dari laki-laki yang menginginkannya. Sebab jika seorang pria dari mereka telah berzina, maka itu sudah cukup bagi kalian.”
Mereka pun melakukannya. Ketika para wanita telah masuk di tengah pasukan tersebut, seorang wanita dari Kan’aniyyun yang bernama Kisbi putri Shur—pemimpin kaumnya—lewat di hadapan seorang pemuka Bani Israil, yaitu Zamri bin Syalum, pemuka keturunan Syamun bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim. Tatkala melihatnya, Zamri tertarik padanya maka ia berdiri menuju wanita itu lalu menggandengkan tangannya. Kemudian ia mendatangi Musa dengan membawa wanita itu seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku menduga engkau akan mengatakan: ini haram atasmu dan jauhi dia.”
Musa mengatakan, “Benar, ini haram atasmu. Jangan mendekatinya.”
Ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak menaatimu dalam hal ini.” lalu ia membawa wanita itu masuk kemahnya lalu menggaulinya, dan Allah mengirimkan penyakit Tha’un di tengah Bani Israil.
Finshash bin Al-Izar bin harun, pelaksana perintah Musa, seorang pria yang diberi karunia berupa tubuh yang besar dan pukulan yang kuat, tidak berada di tempat pada saat Zamri bin Syalum melakukan perbuatan amoralnya. Ketika ia datang, sementara Tha’un tengah merebak di tengah bani Israil, dan mendapatkan kabar (tentang apa yang dilakukan Zamri). Maka ia mengambil tombaknya yang seluruhnya terbuat dari besi. Kemudia ia masuk ke kemahnya dan mendapati keduanya tengah tidur, maka ia menusuk keduanya menjadi satu dengan tombaknya. Kemudian ia membawa keluar keduanya sembari mengangkatnya ke udara. Ia memegang tombak dengan tangannya, menyandarkan siku-sikunya pada lambungnya, dan menyandarkan tombak pada dagunya. Ia adalah anak tunggal al-Iazar, dan ia mengatakan, “Ya Allah, demikianlah kami melakukan terhadap siapa yang bermaksiat kepada-Mu.” Dan penyakit Tha’un pun diangkat (dari tengah-tengah Bani Israil).
Orang-orang yang mati dari Bani Israil karena penyakit Tha’un—sejak Zamri berzina dengan wanita itu hingga ia dibunuh oleh Finhash— dihitung, ternyata 70.000 orang dari mereka telah mati. Ada yang mengatakan, 20.000 orang dalam sesaat di siang hari. Dari situlah Bani Israil memberikan kepada anak Finhash bin al-Izhar bin Harun dari tiap-tiap sembelihan yang mereka sembelih berupa leher, paha, dan harta mereka yang paling baik; karena ia adalah anak tunggal bapaknya al-Izar.
Berkenaan dengan Bal’am bin Ba’ura, Allah menurunkan kepada Nabi Muhammad saw surat Al-A’raf ayat 175-176 ini. “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu.” Hingga firmannya, “Agar mereka berpikir.” [7]
Dan firman-Nya, “Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).” Para ahli tafsir berselisih pendapat mengenai tafsirnya. Berdasarkan redaksi Ibnu Ishaq dari Salim Abu Nadhr, bahwa Bal’am lidahnya terjulur sampai dadanya, sehingga mirip dengan anjing ketika menjulurkan lidahnya pada dua keadaan, baik ketika dihalau maupun ketika dibiarkan. Perbandingan ini mudah jelas.[8]
Pendapat lain menyatakan, bahwa ia seperti anjing dalam kesesatannya dan terus menerus dalam kesesatannya itu. Tidak ada gunanya baginya, baik ia diajak kepada keimanan maupun tidak. Ia seperti anjing yang menjulurkan lidahnya dan dua keadaan. Baik engkau menghalaunya maupun membiarkanya, ia tetap menjulurkan lidahnya di dua keadaan tersebut. demikian pula tidak berguna bagi orang ini, baik diberi rahmat dan diajak kepada keimanan maupun tidak.[9]
Firman-Nya: “Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.” Allah menyatakan bahwa amat buruklah permisalan kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami. Yakni, amat buruklah permisalan mereka, karena mereka diserupakan dengan anjing yang tidak memiliki kemauan, kecuali hanya untuk mendapat makanan atau kesenangan syahwat. Barangsiapa yang keluar dari lingkup ilmu dan hidayah, lalu mengikuti keinginan atau hawa nafsunya, maka ia seperti anjing. Seburuk-buruk permisalan adalah permisalan seperti itu.[10]
Firman-Nya: “Dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zhalim.” Yakni, Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri, dengan berpaling dari petunjuk dan menaati Allah, kepada mencintai negeri yang fana, lalu terlena dalam mencari kelezatannya dan memperturutkan keinginan hawa nafsunya.[11]
Dalam ayat Al-Quran yang mulia ini, terdapat pelajaran bagi seluruh umat manusia, terutama umat Islam. Karena perumpamaan dalam ayat ini boleh disematkan kepada siapa saja yang memiliki sifat sebagaimana Bal’am. Dinasehati maupun tidak dinasehati sama saja, dia tetap mendustakan dan berpaling dari kebenaran. Maka amat buruklah orang semacam ini. Kami berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dari sifat-sifat buruk tersebut.
Demikianlah. Dan segala puji dan keagungan hanya milik-Nya. Dia berfirman:

{وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا} [الكهف: 54]

 “Dan sesungguhnya, Kami telah berulang-ulang kepada manusia dalam Al-Quran ini dengan bermacam-macam perumpamaan. Tetapi manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. Al-Kahfi, 18: 54).
[1] Al Jami’li Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi (QS. Al-A’raf, 7: 176,). Jilid 7, hal, 812.
[2] Al Jami’li Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi (QS. Al-A’raf, 7: 176,). Jilid 7, hal, 814.
[3] Al Jami’li Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi (QS. Al-A’raf, 7: 176,). Jilid 7, hal, 814.
[4] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. Al-A’raf, 7: 175-177. Jilid 3, hal, 728.
[5] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. Al-A’raf, 7: 175-177. Jilid 3, hal, 728.
[6] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. Al-A’raf, 7: 175-177. Jilid 3, hal, 728.
[7] Demikian yang terdapat dalam sahih Tafir Ibnu Katsir, ). QS. Al-A’raf, 7: 175-177. Jilid 3, hal, 729-731.
[8] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. Al-A’raf, 7: 175-177. Jilid 3, hal, 731.
[9] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. Al-A’raf, 7: 175-177. Jilid 3, hal, 731.
[10] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. Al-A’raf, 7: 175-177. Jilid 3, hal, 732-733.
[11] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. Al-A’raf, 7: 175-177. Jilid 3, hal, 733.
ustazcyber.com/10 Julai 2014

0 Response to "KISAH BAL'AM,ULAMA YANG SILAU DUNIA."

Posting Komentar

Favorit

KALIMAT MULIA BEKAL MENUJU SYURGA

Makna Tauhid Tauhid secara bahasa merupakan  mashdar  (kata benda dari kata kerja, ed) dari kata  wahhada . Jika dikatakan  wahhada syai’...